Ya. Aku
‘unik’
ADZAN
shubuh berkumandang dari arah masjid. Menggema
masuk ke kamar melalui jendela yang menganga lebar. Badanku bangkit dan
terduduk membungkuk, kelelahan berlari dalam mimpi. Tanganku refleks menekan
sakelar lampu. Pandanganku seketika silau, mataku
menyipit. Mataku menyapu sekeliling
kamar. Melirik ke arah arloji yang melingkar di lengan
kiri, tak pernah lepas sedari kemarin.
04:53. Berdiri kemudian melangkah dengan langkah yang gesar terhuyung seperti sehabis lolos
dari kejaran pasukan penunggang serigala raksasa,
berjalan ke kamar mandi. Sungguh
mimpi yang menakutkan. Darahku masih
berdesis dan panas karena ‘bunga tidur’
dengan ketegangan yang mengundang aliran adrenalin dalam tubuh. Aku
menyegarkan diri dengan mengambil air wudhu’. Menyentuhkan air keran dingin ke
wajah. Bergegas berjalan meraih gamis, kemudian melangkah ke ‘Baitullah’
untuk shalat berjamaah.
Sudah beberapa hari ini, mimpi aneh
selalu mengintai tidur nyenyakku. Seperti sebuah potongan-potongan cerita yang
saling berpisah dan berantakan. Namun selalu menceritakan hal-hal aneh. Sama
seperti ‘keunikanku’.
Entah apa itu, tapi sangat
mengganggu pikiranku. Sepanjang jalan, lamunanku berputar-putar sekitar mimpi
buruk tersebut, seakan mimpi itu ingin menyampaikan sesuatu. Hingga tak sadar langkah
kaki ini sudah membawaku sampai
di halaman masjid. Kubuang semua lamunan itu, melilitkannya dengan batu dan kubuang jauh-jauh ke dalam semak belukar. Kemudian
menyentuhkan telapak kakiku ke lantai sejuk rumah Allah. Menyisakan bekas tapak berembun kelantai masjid,
mengambil shaf terdepan dekat imam dan menyelesaikan
shalatku bersama Tuhan. Lalu kembali ke rumah dengan pikiran
tenang, berharap mimpi buruk itu berhenti mengejar tidurku. Sekaligus
mempersiapkan diri ke sekolah.
Handuk
sudah kupegang dan menuju ke kamar mandi. Tiga
puluh menit berlalu, aku sudah lengkap dengan seragam
putih-abi-abu, meraih tas dan menuruni tangga untuk bergabung bersama ayah dan
ibu bersarapan. Nasi goreng
merah merekah, masih panas dan pedas. Ditambah sandwich 3 potong. Menu yang tak biasa. Mungkin untuk memeriahkan suasana hati setelah
mendengar pernyataan Oci yang akhirnya mau untuk disunat. Sudah beberapa kali
Oci dibujuk, namun memberikan penolakan keras. Entahlah, apa yang membuat anak
itu akhirnya mengajukan ‘penolakannya’ sendiri. Samar
terdengar mereka membicarakan acara sunatan Oci. Tak jarang kening ibu terlihat
mengerut, meski akhirnya kembali tertawa mendengar jelas ayah dengan bahasa mandar1-nya. Aku sendiri
kurang paham dengan bahasa mandar. Tapi aku tahu jalan percakapan mereka.
Tentu pernyataan Oci itu membuat ibu sedikit gugup.
Terlihat dari mata berkabutnya setelah mendengar ungkapan itu secara mendadak.
“Ayo makan, Munad…Tunggu! Adikmu sudah
bangun?” ucap ibu, mengguyarkanku
dalam aliran lamunan sembari menyendok nasi ke atas piringku.
“Sudah, Bu. Mungkin Oci masih pakai
seragam…Telurnya banyakin dong, Bu” balasku menyodorkan piring ke arah mangkuk telur diseberang meja kaca. Bagiku, nasi goreng tanpa telur dadar buatan ibu
masih belum memenuhi standard.
“OCII!!?? Cepetan, nak. Ayahmu sudah
mau berangkat nih!” teriak ibu.
Sesosok anak kecil berseragam
putih-merah dengan papan nama di dada
kirinya, akhirnya muncul dari sebuah kamar di depan
tangga. Tangan kanannya memegang piring kaca. Oci melangkah ke arah ibu dengan kaus kaki baru putih
bersih, kemudian menyodorkan piringnya dan menggeleng ketika
ditawari nasi goreng merah setengah panas. Ia meminta jatah sandwich dengan mata segar layaknya mata sebilah pedang.
Pagi ini ia meminta roti, seperti kebiasaannya yang suka ‘pilih-pilih’ makanan.
“Kamu mau ikut kami, Munad?” tanya
ayah yang akhirnya memecah senyap.
Tapi aku
membalas dengan gelengan. Menolak
untuk tidak menyulitkan. Sekolahku dengan kantor ayah⸺dan
sekolah Oci⸺berlawan arah.
Jika aku mengiyakan tawaran itu, mungkin ayah akan
kesulitan memutar-balik mobil terbangnya. Kalaupun tidak, tetap saja membuat
tulang punggung keluarga itu kehilangan banyak waktu dan akan terlambat sampai
tujuannya. Ayah hanya tersenyum melihat responsku. Mungkin
aku akan jalan kaki saja. Untung-untung kalau ditawari tumpangan sama teman
yang naik kendaraan pribadi mereka.
Aku merogoh tas hitam berpapan nama Munad Hamzah,
membersihkan bekas makanan di atas celana abu-abuku, menyilangkan sendok dan garpu, mengibaskan tangan dan
melangkah meraih tangan
ayah dan ibu untuk pamit. Tubuhku yang
tadi membungkuk kembali tegap mengenakan sepasang sepatu hitam mengkilap setelah kusemir. Kemudian memantapkan
langkah kaki dan menghilang dari balik pintu kayu. Terasa sedikit lembab, karena hujan semalam.
Mungkin aku akan jalan kaki saja. Untung-untung kalau ditawari tumpangan sama
teman yang naik kendaraan pribadi mereka.
Tapi tidak.
Tentu aku tak mungkin mau bersusah
payah untuk itu. Berjalan di atas
atas trotoar bersama genangan air menuju gedung SMA yang berjarak tiga kilometer
dari teras rumah. Ditemankan suara desing yang keluar dari mobil terbang di
atas jalan raya. Mengharap keberuntungan atas temanku yang mengendarai
kendaraan pribadi mereka. Lagipun, kakiku juga pasti tak mampu menyesuaikan
keadaan yang semakin singkat untuk mengikuti pelajaran pertama. Aku punya cara
sendiri untuk mengatasi hal ini.
Semua
akan terdengar aneh bagi telinga manusia abad ke-52. Dengan kehidupan serba
canggih, hidup serba teknologi, ‘cara’-ku ini hanya akan terdengar seperti
bualan orang dengan gangguan jiwa. Membuat semua orang akan mengerutkan kening
sambil tertawa ketika mendengarnya. Benar-benar seperti bualan belaka. Keadaan
modern yang memaksa mereka untuk mengutuk hal-hal ‘aneh’ dan ‘unik’ seperti
caraku ini. Namun, inilah adanya.
Seperti
biasa, lampu jalan yang ada di balik pagar adalah tujuanku menginjakkan kaki
dari lantai rumah ke luar. Lampu itu masih menyala. Memang. Lampu itu akan mati
jika jarum jam sudah mengacung ke arah angka delapan. Dan gerakan kakiku
membawaku menuju ke belakangnya. Berdiri tegak di atas trotoar yang masih sepi
pejalan kaki. Sesekali aku mengintip ke arah jalan raya, memastikan tak seorang
pun memperhatikan apa yang sedang ku perbuat. Satu-dua desing mobil terdengar,
melintasi koridor telingaku.
Disamping
itu, aku mempersiapkan diri untuk melakukan rutinitasku setiap ingin berkunjung
kesuatu tempat. Melakukan kebiasaan yang akan menjadi hal paling mengerikan
jika diketahui orang-orang.
Aku menutup
mataku, mencoba memfokuskan diri. Membayangkan gerbang sekolah berbahan besi.
Kokoh melingkari lingkungan sekolah. Seakan memperlihatkan penolakan kepada
orang memaksa masuk dengan cara ‘kotor’. Seketika tubuhku menghilang dari balik
lampu jalan. Hilang tanpa diketahui orang-orang. Seperti ada sesosok tak kasat
mata menelan dan menghabiskan seluruh tubuhku dalam sekali telan.
Namun, siapa yang bisa menduga, sesosok tubuh lelaki
dengan tinggi 160 cm, berpakaian putih abu-abu, bertas hitam dengan papan nama
Munad Hamzah, muncul secara misterius di muka sekolah bergerbang besi. Tak seorang pun menyadari fenomena
singkat itu. Mereka hanya berlalu-lalang. Bermondar mandir. Mengemudikan mobil
terbang dengan desingan khas. Tanpa ada rasa keingintahuan, dari mana anak ini muncul, bukankah ia tadi
tak ada disini. Tapi, mereka menolak untuk menghiraukannya.
Unik bukan ? Keluar dari rumah, berjalan ke belakang
lampu jalan, kemudian muncul di depan gerbang sekolah yang menganga lebar.
Bukan hanya unik, tapi aneh. Sangat aneh malahan. Namun, inilah adanya.
Ya. Aku ‘unik’.
Sering aku merasa aneh. Merasa berbeda dari anak lain.
Merasa tak mampu menjawab dari mana ketidaknormalanku.
Sungguh, ini tak pernah masuk dalam logikaku. Mengapa hanya aku yang memiliki
keunikan? Sudah berapa lama keunikan ini bersemayam? Apakah ayah dan ibu juga
mengalaminya? Atau Oci juga bisa berpindah-pindah tempat sepertiku? Apaka ini
kutukan? Atau pembawa keuntungan? Entahlah. Hingga saat ini belum ada jawaban
yang kudapat. Semua pertanyaan itu terukir dan terpahat dengan sendirinya dalam
pikiranku. Membuat wajahku menyeringai memikirkannya.
Tapi
tunggu! Kapan aku pertama kali sadar akan keunikan ini ? Oh, ya. Saat aku masih sangat kecil. Sebelum aku
menempuh perjalanan di PAUD⸺Pendidikan Anak Usia Dini. Saat itu aku diajak
ikutan mandi sungai oleh teman-teman. Tapi aku terlambat berangkat dan
tertinggal jauh. Bingung. Sedih. Itulah yang kurasa. Hingga saat aku
membalikkan badan, entah kenapa tiba-tiba saja aku sudah berada di tepi sungai.
Percikan air sungai yang mengalir. Ikan-ikan meloncat dan berenang riang. Ya,
aku tiba di sungai. Bahkan aku lebih dulu sampai dibanding temanku. Itu sempat
membuatku shock. Aku terkena demam
satu minggu penuh. Terlalu kaget dengan kejadian itu, sewajarnya anak kecil. Dan
sejak saat itu, ketakutan menghampiri dan mencekikku setiap kali mengingatnya.
Keunikan ini panggil ‘berlian’.
Tapi, itu tak membuatku hanyut dalam depresi.
Menyembunyikannya adalah keputusan paling tepat untuk saat ini. Bahkan ayah dan
ibu belum tahu. Dan aku harap, mereka tak akan tahu. Aku tak bisa membanyangkan,
ketika ayah tercengang gentar dengan keringat dingin atau wajah ibu menyeringai
terkejut, melihat anak sulungnya mampu berpindah-pindah tempat sesuai
keinginannya. Pasti akan sangat rumit jadinya.
Selain itu, jika hal ini diketahui orang-orang, mereka
pasti menangkap dan menahanku dalam sel tahanan. Menganggapku sebagai ancaman
bagi masyarakat. Atau juga menganggapku alien. Atau bahkan ‘diambil’ para iluman
untuk dijadikan bahan eksperimen rahasia. Melilitkan tubuhku dengan selang
ini-selang itu. Menyuntikkan cairan ini-cairan itu. Membedah ini-membedah itu.
Seram. Untuk memikirkannya saja sudah membuatku merinding.
Aku kemudian melanjutkan langkahku melewati gerbang
sekolah, membawa sejumlah rahasia yang haram diketahui banyak orang, senyum ke
arah satpam tanpa ia tahu dari mana anak
ini muncul, bukankah ia tadi tak ada disini.
***
Komentar
Posting Komentar